oleh: Rizqi Awal El-Palembani
(Presiden Pengangguran Dunia Maya bergaji kurang dari 100 rupiah)
Pernah menonton film layar lebar buatan Deddy Mizwar. Tentang Alangkah Lucunya Negeri ini. Ada pernyataan menarik dari para pencopet kecil itu. Ketika menunjukan gedung MPR secara spontan ia berkata, “Bang kalau begitu di sana ada wakil copet nggak bang?” Di Film ini, kita bakal mengetahui benar antara copet tidak professional atau kampungan dengan yang terorganisasi. Bayangkan, sutradara berhasil membuat decak kagum dari niatan “baik” untuk mengubah para pencopet kecil itu jadi orang-orang terdidik. Hebatnya lagi, para pencopet-pencopet itu berhasil mengumpulkan dana melalui manajemen yang rapih sebesar 21 juta rupiah. Angka yang besar untuk hidup di zaman sekarang. Tapi dasar pemerintah negeri ini, saat mereka ingin berubah menjadi pedagang asongan, tetap saja dikejar dan diincar oleh Satuan trantib.
Negeri ini memang lucu, seperti adegan komedi. Ya kalau kita penggemar OVJ (Opera Van Java) di mana adegan-adegannya lebih kepada “ketawa oriented” ternyata merupakan gambaran dari suatu realitas negeri yang seperti dunia komedi tadi. Yang kecil dipertahankan untuk tetap miskin, yang kaya ditingkatkan kekayaannya agar memberikan yang miskin. Sementara pemerintah hanya duduk mengangguk-angguk dan hanya bertutur, “Lanjutkan!”
Saya pernah membaca lelucon lucu di Koran nasional, di daerah kartun dengan judul “Sukribo”. Kebetulan harga cabai rawit begitu mahalnya.Nah, sang creator kartun kribo ini mengangkat kisah yang berhubungan dengan hal ini.
Tukang Mie Ayam : “Pakai Sambel nggak mas Ridwan?”
Mas Ridwan : Weeeeh… ya pakai dong, Mie ayam nggak pakai sambel jadinya mie ayan
Jangan banyak-banyak ya… cabe rawit lagi mahal amil-amit
TUkang Mie Ayam : Tenang aja mas, silakan pakai sambalnya sesuka mas Ridwan
Mas Ridwan : Ah… beneran nih??
Tukang Mie Ayam : Bener mas… itu nggak terlalu mahal kok, saya oplos sama balsam…
Ya, negeri ini tidak pernah kehabisan akal. Maka jangan heran, periksakan dulu sambal-sambal yang ada siapa tahu sudah di oplos sama “berbau pedas” lainnya. Maklum, inilah Indonesia, menghalalkan segala cara dengan apa yang ada.
Semua Karena sistem
Maka, perihal di atas jangan heran jika pada akhirnya orang akan mengatakan semua karena sistem. Hal yang mengkhawatirkan dari kesalahan sistem yang ada adalah caruk-maruknya pendidikan di Indonesia. Sehingga, kita bisa melihat bagaimana pendidikan kini bukan menjadi barang prioritas tetapi barang jualan yang tergantung berapa harga penawaran dan penjualannya.
Padahal pendidikan merupakan tugas penting Negara yang harusnya diperuntukan bagi kesejahteraan masyarakat. Namun, kekinian pendidikan terbagi-bagi dan terkotak-kotak. Pemerintah telah berada di koridor yang salah, yaitu menjadikan sebagai mediator sehingga lahirlah bentuk pendidikan komersialisasi. Sekolah-sekolah yang telah berstatus Internasional mulai melakukan akselerasi pembiayaan ini dan itu, di mana harga jualnya hampir sama dengan biaya amsuk anak kuliahan. Bayangkan saja, ada orang tua yang mungkin rela menmberikan sumbangan dana sebesar Rp 50.000.000,- atau lebih hanya untuk agar anaknya dapat di sebut sebagai murid “standar internasional”. Di lain hal, wakil rakyat menanggapi dingin perihal ini. Alasannya mudah saja, ini sebagai bagian dari subsidi silang. Dan yang lainnya mengangguk-angguk. Padahal, inilah bukti nyata mulai terjadinya kesenjangan pendidikan antara si miskin dan si kaya.
Nah, ini sesuai ucapan koordinator LSM Education Network for Justice(ENJ), Yanti Mukhtar yang menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Alhasil, otonomi sekolah yang kebablasan telah menjadikan sekolah-sekolah tersebut sebagai PT-PT baru yang berdikari dengan membangun standar pendidikan di atas uang.
Jadilah benar kata pak ogah, “Cepee Dulu”. Di mana-mana butuh uang. Dan kini uang telah menuai sukses dalam dunia pendidikan. Maka, jangan heran bila kemudian hari para “rentenir” itu beralih menjadi pengusaha sukses di bidang pendidikan. Karena, mereka akan ramai-ramai berceloteh:
“Dijual mahal, dijual mahal, dijual mahal…”
Menjenguk Perguruan Tinggi
Mari kita kunjungi Perguruan tinggi. Perguruan tinggi bukan lah perguruan pencak silat tingkat tinggi walaupun seringkali kita melihat banyak adegan perkelahian dan pertempuran yang biasa kita sebut tawuran di kalangan perguruan tinggi. Perguruan tinggi pun juga tidak layak disebut sebagai perguruan “hura-hura” tingkat teratas walaupun pada dasarnya pendidikan tinggi telah menjadikan setiap mahasiswanya nangkring sebagai komunitas hedonisme.
Bangunan-bangunan pencakar langit di setiap perguruan tinggi di kota-kota besar, seringkali hanya menjadi symbol yang tidak tertulis, “Inilah sekolahan untuk kaum berpunya”. Maka layak disandingkan bahwa pendidikan perguruan tinggi adalah pelatihan bagi mereka yang berada di kelas teratas.
“Kan banyak beasiswa ?”
Mendapatkan beasiswa itu mudah, tetapi beasiswa tidak harus datang dan bertanya satu-satu ke setiap mahasiswa. Tapi beasiswa itu seringkali menunggu, bersembunyi dan saat datang berjubel “syarat dan ketentuan” diberlakukan. Kan, ada sebuah pepatah besar yang menjadi mitos saat ini: Tidak ada makan siang gratis. Ya dibalik beasiswa itu pasti ada keinginan “jahat” yaitu mencetak mahasiswa cepat lulus tidak menghiraukan kualitas kerja yang ada.
Maka terheranlah kita, bahwa di tingkat tertinggi pendidikan saja kondisinya sedang dalam keadaan sakit. Jadi apa yang bisa diharapkan dari judul, “Pendidikan Tinggi berkualitas” yang hanyalah sebuah mimpi-mimpi kosong yang di jual manis. Entah laku atau tidaknya. Inilah kehidupan yang tengah dipopulerkan oleh sistem bernama Kapitalisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar