Page

Kamis, 20 Mei 2010

Membongkar Kedok Pancasila dan UUD 1945

بسم الله الرحمن الرحيم

Pembahasan ini adalah untuk menunjukkan kepada kita tentang kemusyrikan yang terang dan kekafiran yang nyata dari Pancasila dan UUD 1945. Sehingga tidak ada lagi kesamaran bagi kita untuk mengkafirkan siapa saja yang menerima Pancasila dan UUD 1945, membanggakannya, serta mengamalkannya baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Di dalam Bab XV pasal 36 A : 'Lambang negara adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika'.

Pancasila adalah dasar negara, sehingga para Thaghut RI dan aparatnya menyatakan bahwa Pancasila adalah pandangan hidup bangsa dan dasar negara RI, serta merasakan bahwa Pancasila adalah sumber kejiwaan masyarakat dan negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, pengamalannya harus dimulai dari setiap warga negara Indonesia. Setiap penyelenggara negara yang secara meluas akan berkembang menjadi pengamalan Pancasila oleh setiap lembaga kenegaraan serta lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah. [Lihat PPKn untuk SD dan yang lainnya, bahasan Ekaprasetya Pancakarsa].

Jadi dasar negara RI, pandangan hidupnya, serta sumber kejiwaannya
bukan لا إله إلا الله tapi falsafah syirik Pancasila Thaghutiyyah Syaitaniyyah
yang berasal dari ajaran syaitan manusia, bukan dari wahyu samawi ilahi

اللّه subhanahu wata'ala berfirman :
'Itulah Al-Kitab (Al-Qur?an), tidak ada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk
(pedoman) bagi orang-orang yang bertaqwa'.(Qs. Al-Baqarah : 2)

Tapi mereka mengatakan : 'Ini Pancasila adalah pedoman hidup bagi bangsa dan pemerintah Indonesia'.

اللّه subhanahu wata?ala berfirman :

'Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia...'. (Qs. Al-An?am : 153)

Tapi mereka menyatakan : 'Inilah Pancasila yang sakti, hiasilah hidupmu dengan dengan moral Pancasila'.

Oleh karena itu, dalam rangka menjadikan generasi penerus bangsa ini sebagai orang yang Pancasilais (baca : musyrik), para Thaghut (Pemerintah) menjadikan PMP/PPKn sebagai pelajaran wajib di semua lembaga pendidikan mereka.

Sekarang mari kita kupas beberapa butir Pancasila...

Dalam sila I butir II : 'Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan'.

Pancasila memberikan kebebasan orang untuk memilih jalan hidupnya, dan tidak ada hukum yang melarangnya. Seandainya orang muslim murtad dan masuk Nasrani, Hindu, atau Budha, maka itu adalah kebebasannya dan tidak akan ada hukuman baginya. Sehingga ini membuka pintu lebar-lebar bagi kemurtadan, sedangkan dalam ajaran Tauhid Rasulullah bersabda : 'Siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia'. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Namun kebebasan ini bukan berarti orang muslim bebas melaksanakan sepenuhnya ajaran Islam, tapi ini dibatasi oleh Pancasila, sebagaimana yang tertera dalam butir I : 'Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab'.

Sehingga bila ada orang murtad dari Islam, terus ada orang yang menegakkan terhadapnya hukum اللّهsubhanahu wata'ala yaitu membunuhnya, maka orang yang membunuh ini pasti dijerat hukum Thaghut.

Dalam sila II butir I : 'Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antar sesama manusia'.

Yaitu bahwa tidak ada perbedaan di antara mereka dalam status itu semua dengan sebab dien (agama), sedangkan اللّه subhanahu wata'ala berfirman :
'Katakanlah : Tidak sama orang buruk dengan orang baik, meskipun banyaknya
yang buruk itu menakjubkan kamu'.(Qs. Al-Maaidah : 100)

Dia Ta'ala juga berfirman :
'Tidaklah sama penghuni neraka dengan penghuni surga'.(Qs. Al-Hasyr : 20)

اللّهsubhanahu wata'ala juga berfirman :
'Maka apakah orang yang mukmin (sama) seperti orang yang fasik? (tentu) tidaklah sama'. (Qs. As-Sajadah : 18)

Sedangkan kaum musyrikin dan Thaghut Pancasila mengatakan : 'Mereka sama'.

اللّه subhanahu wata'ala berfirman :
'Maka apakah Kami menjadikan orang-orang islam (sama) seperti orang-orang kafir. Mengapa kamu (berbuat demikian), bagaimanakah kamu mengambil keputusan? Atau adakah kamu memiliki sebuah kitab (yang diturunkan اللّه) yang kamu membacanya, bahwa didalamnya kamu benar-benar boleh memilih apa yang kamu sukai untukmu'.(Qs. Al-Qalam : 35-38)

Sedangkan budak Pancasila, mereka menyamakan antara orang-orang Islam dengan orang-orang kafir. Dan saat ditanya, Apakah kalian mempunyai buku yang kalian pelajari tentang itu ? . Mereka menjawab : Ya, kami punya. Yaitu PMP/PPKn dan buku lainnya yang dikatakan di dalamnya : 'Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antar sesama manusia'.
Apakah ini Tauhid atau Kekafiran ???

Lalu dinyatakan dalam butir II : 'Saling mencintai sesama manusia'.

Pancasila mengajarkan pemeluknya untuk mencintai orang-orang Nasrani, Hindu, Budha, Konghucu, para Demokrat, para Quburriyyun, para Thaghut dan orang-orang kafir lainnya. Sedangkan اللّه ta'ala mengatakan :
'Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada اللّه dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang اللّه dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka'.(Qs. Al Mujadilah : 22)

Kata Pancasila : 'Harus saling mencintai meskipun dengan orang-orang non-muslim'. Namun kata اللّه , orang yang saling mencintai dengan mereka bukanlah orang Islam.

اللّه mengajarkan Tauhid,
Tapi Pancasila mengajarkan kekafiran

اللّه subhanahu wata?ala juga berfirman :
'Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian jadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai teman setia yang kalian menjalin kasih sayang dengan mereka'.(Qs. Al-Mumtahanah : 1)

Dia subhanahu wata'ala berfirman tentang siapa musuh kita itu :
'sesungguhnya orang-orang kafir adalah musuh yang nyata bagi kalian'.(Qs. An-Nisa? : 101)

Renungi ayat-ayat itu dan amati butir Pancasila di atas.

Yang satu ke timur dan yang satu lagi ke barat,
Sungguh sangat jauh antara timur dan barat

اللّه subhanahu wata'ala berfirman tentang ajaran Tauhid yang diserukan para Rasul :
'serta tampak antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kalian beriman kepada اللّه saja'.(Qs. Al-Mumtahanah : 4)

Tapi dalam Thaghut Pancasila : 'Tidak ada permusuhan dan kebencian, tapi harus toleran dan tenggang rasa'.

Apakah ini Tauhid atau Syirik ???

Ya, Tauhid... tapi bukan Tauhidullah, namun Tauhid (Penyatuan) kaum musyrikin atau Tauhiduth Thawaaghit.

Rasulullah صلى الله عليه وسلمtelah mengabarkan bahwa : 'Ikatan iman yang paling kokoh adalah cinta karena اللّه dan benci karena اللّه'.

Namun kalau kamu iman kepada Pancasila, maka cintailah orang karena dasar ini dan bencilah dia karenanya. Kalau demikian berarti adalah orang beriman, tapi bukan kepada اللّه, namun beriman kepada Thaghut Pancasila. Inilah yang dimaksud dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Yang Esa itu bukanlah اللّه dalam agama Pancasila ini, tapi itulah garuda Pancasila.

Enyahlah Tuhan yang seperti itu...
Dan enyahlah para pemujanya....

Dalam sila III butir I : 'Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan'.

Inilah yang dinamakan dien (agama) Nasionalisme yang merupakan ajaran syirik. Dalam butir di atas, kepentingan Nasional harus lebih di dahulukan siatas kepentingan golongan (baca : agama). ApabilaTauhid atau ajaran Islam bertentangan dengan kepentingan syirik atau kufur negara, maka Tauhid harus mengalah. Sedangkan اللّه subhanahu wata'ala berfirman :
'Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului اللّه dan Rasul-Nya'. (Qs. Al-Hujurat : 1)

Oleh sebab itu, karena Nasionalisme adalah segalanya maka hukum-hukum yang dibuat dan diterapkan adalah yang disetujui oleh orang-orang kafir asli dan kafir murtad, karena hukum اللّه sangat-sangat menghancurkan tatanan Nasionalisme, ini kata Musyrikun Pancasila.

Sebenarnya kalau dijabarkan setiap butir dari Pancasila itu dan ditimbang dengan Tauhid, tentulah membutuhkan waktu dan lembaran yang banyak. Namun disini kita mengisyaratkan sebagiannya saja.

Kekafiran, kemusyrikan dan kezindikan Pancasila adalah banyak sekali. Sekiranya uraian di atas cukuplah sebagai hujjah bagi pembangkang dan sebagai cahaya bagi yang mengharapkan hidayah.

Setelah mengetahui kekafiran Pancasila ini, apakah mungkin orang muslim masih mau melagukan : 'Garuda Pancasila, akulah pendukungmu...'.

Tidak ada yang melantunkannya kecuali orang kafir mulhid atau orang jahil yang sesat yang tidak tahu hakikat Pancasila.

Sedangkan di dalam UUD 1945 Bab II pasal 3 ayat (1) : 'MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar'.

Sudah kita ketahui bahwa hak menentukan hukum / aturan / undang-undang adalah hak khusus اللّه subhanahu wata'ala. Dan bila itu dipalingkan kepada selain اللّه maka itu adalah syirik akbar. اللّه subhanahu wata?ala berfirman :
'Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu bagi-Nya dalam menetapkan hukum'. (Qs. Al-Kahfi : 26)

اللّه subhanahu wata?ala berfirman :
'Hak hukum (putusan) hanyalah milik اللّه'. (Qs. Yusuf : 40)
Tasyri' (pembuatan hukum) adalah hak khusus اللّه subhanahu wata'ala, ini artinya MPR adalah arbab (Tuhan-Tuhan) selain اللّه, dan orang-orang yang duduk sebagai anggota MPR adalah orang-orang yang mengaku sebagai Rabb (Tuhan), sedangkan orang-orang yang memilihnya adalah orang-orang yang mengangkat ilah yang mereka ibadahi. Sehingga ucapan setiap anggota MPR : 'Saya adalah anggota MPR', artinya adalah 'Saya adalah Tuhan selain اللّه'.


UUD 1945 Bab VII pasal 20 ayat (1) : 'Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang'.

Padahal dalam Tauhid, yang memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang / hukum / aturan tak lain hanyalah اللّه subhanahu wata'ala.

Dalam pasal 21 ayat (1) : 'Anggota DPR berhak memajukan usul Rancangan Undang-Undang'.

UUD 1945 Bab III pasal 5 ayat (1) : 'Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat'.

Bahkan kekafiran itu tidak terbatas pada pelimpahan wewenang hukum kepada para Thaghut itu, tapi itu semua diikat dengan hukum yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Rakyat lewat lembaga MPR-nya boleh berbuat tapi harus sesuai UUD 1945, sebagaimana dalam Bab I pasal 1 ayat (2) : 'Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar'.

Begitu juga Presiden, sebagaimana dalam Bab III pasal 4 ayuat (1) UUD 1945 : 'Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar'.

Bukan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, tapi menurut Undang-Undang Dasar.

Apakah ini islam ataukah kekafiran ???

Bahkan bila ada perselisihan kewenangan antar lembaga pemerintahan, maka putusan final dikembalikan kepada Mahkamah Thaghut yang mereka namakan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana dalam Bab IX pasal 24C ayat (1) : 'Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum'.

Padahal dalam ajaran Tauhid, semua harus dikembalikan kepada اللّه dan Rasul-Nya, sebagaimana firman-Nya :
"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada اللّه (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar‑benar beriman kepada اللّه dan hari kemudian". (Qs. An‑Nisa' : 59)

Al imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata : '(firman اللّه) ini menunjukkan bahwa orang yang tidak merujuk hukum dalam kasus persengketaannya kepada Al-Kitab dan As-Sunnah serta tidak kembali kepada keduanya dalam hal itu, maka dia bukan orang yang beriman kepada اللّه dan hari akhir'. [Tafsir Al-Qur?an Al-?Adhim : II / 346].

Ini adalah tempat untuk mencari keadilan dalam Islam, tapi dalam ajaran Thaghut RI, keadilan ada pada hukum yang mereka buat sendiri.

Undang-Undang Dasar 1945 Thaghut memberikan jaminan kemerdekaan penduduk untuk meyakini ajaran apa saja, sehingga pintu-pintu kekafiran, kemusyrikan dan kemurtadan terbuka lebar dengan jaminan UUD. Orang murtad masuk ke agama lain adalah hak kemerdekaannya dan tidak ada sanksi hukum atasnya. Padahal dalam ajaran اللّه subhanahu wata'ala, orang murtad punya dua pilihan, kembali ke Islam atau dihukum mati, sebagaimana sabda Rasulullah :

'Barangsiapa mengganti agamanya maka bunuhlah ia'. (HR. Bukhari dan Muslim)

Orang meminta-minta ke kuburan, membuat sesajen, tumbal, mengkultuskan seseorang, dan perbuatan syirik lainnya, dia mendapat jaminan UUD, sebagaimana dalam Bab XI pasal 29 ayat (2) : 'Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu'.

Mengeluarkan pendapat, pikiran dan sikap meskipun kekafiran adalah hak yang dilindungi Negara dengan dalih HAM, sebagaimana dalam Bab XA pasal 28E ayat (2) : 'Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya'.

Budaya syirik dan berhalanya mendapat jaminan penghormatan dengan landasan hukum Thaghut, sebagaimana dalam Bab yang sama pasal 28 I ayat (3) : 'Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban'.

UUD 1945 juga menyamakan antara orang muslim dengan orang kafir, sebagaimana di dalam Bab X pasal 27 ayat (1) : 'Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya'.

Padahal اللّه subhanahu wata'ala telah membedakan antara orang kafir dengan orang muslim dalam ayat-ayat yang sangat banyak.

اللّه Ta'ala berfirman :
'Tidaklah sama penghuni neraka dengan penghuni surga.' (Qs. Al-Hasyr : 20)

اللّه subhanahu wata?ala berfirman seraya mengingkari kepada orang yang menyamakan antara dua kelompok dan membaurkan hukum-hukum mereka :
'Maka apakah Kami menjadikan orang-orang islam (sama) seperti orang-orang kafir. Mengapa kamu (berbuat demikian), bagaimanakah kamu mengambil keputusan?'.(Qs. Al-Qalam : 35 - 36)

Dia subhanahu wata?ala berfirman :
'Maka apakah orang yang mukmin (sama) seperti orang yang fasik? (tentu) tidaklah sama'. (Qs. As-Sajadah : 18)

اللّه subanahu wata'ala menginginkan adanya garis pemisah yang syar'i antara para wali-Nya dengan musuh-musuh-Nya dalam hukum-hukum dunia dan akhirat. Namun orang-orang yang mengikuti syahwat dari kalangan budak Undang-Undang negeri ini ingin menyamakan antara mereka.

Siapakah yang lebih baik ???
Tentulah aturan اللّه Yang Maha Esa yang lebih baik

Jumat, 07 Mei 2010

KHILAFAH: MENYATUKAN UMAT, MEWUJUDKAN INDONESIA BERMARTABAT.



[Al-Islam 505] Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) V. KUII V ini diselenggarakan 8-10 Mei 2010 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta. KUII yang kali ini mengambil tema “Peneguhan Ukhuwah Islamiyah untuk Indonesia Bermartabat” diikuti oleh sekitar 800 peserta yang terdiri dari unsur MUI Pusat dan MUI tingkat propinsi, perwakilan ormas-ormas Islam, pondok pesantren dan perguruan tinggi Islam, lembaga-lembaga Islam nasional dan internasional serta kalangan profesional pendidikan, perekonomian dan perbankan.

Ketua Panitia Pengarah KUII Din Syamsuddin mengungkapkan, kongres ini akan fokus pada masalah kepemimpinan umat Islam dalam Kerangka Negara Kesatuan RI yang meliputi paradigma, visi dan karakter kepemimpinan Islam; termasuk penguatan kelembagaan umat dan jaringan komunikasi kelembagaan. Masalah ekonomi umat Islam juga masuk dalam pembahasan KUII. Karena itu, diharapkan KUII bisa menjadi wahana efektif untuk menghimpun kekuatan umat yang terserak serta mendiskusikan gagasan dan pemikiran dari berbagai unsur umat Islam untuk merumuskan langkah strategis bagi peningkatan peran umat Islam.

Membicarakan visi, misi dan karakter kepemimpinan umat saat ini sungguh sangat relevan bahkan penting bagi kehidupan umat ke depan. Masalah-masalah ekonomi yang dihadapi umat saat ini tidak terlepas dari–bahkan disebabkan oleh–kerangka aturan perundang-undangan dan pilihan sistem ekonomi yang diadopsi. Hal itu pun erat kaitannya dengan masalah politik yang sangat dipengaruhi oleh faktor kepimimpinan.

Fakta membuktikan, meski telah merdeka selama 65 tahun, Indonesia belum bisa menjadi negara maju. Pasca reformasi Indonesia malah seolah-olah sedang meluncur jatuh ke bawah. Kasus-kasus besar yang terungkap pasca reformasi–korupsi, misalnya–membuktikan semuanya itu.

Diakui atau tidak, umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya saat ini sebenarnya sedang dibelenggu oleh sistem kehidupan Kapitalisme dengan ideologi sekularnya. Sistem ini bukanlah sistem yang lahir di negeri ini, tetapi diimpor dan dipaksakan penjajah untuk diterapkan di negeri ini sebelum negara-negara penjajah itu hengkang dari negeri ini. Bukti paling nyata adalah penggunaan sistem hukum Belanda hingga saat ini dalam penyelesaian pidana dan perdata.

Dalam seluruh aspek kehidupan, hampir tidak ada ruang kemerdekaan bagi rakyat yang mayoritas Muslim di negeri ini untuk menentukan aspirasi mereka. Keinginan mereka untuk menerapkan syariah Islam terus-menerus diganjal sejak negara ini masih belia hingga 65 tahun kemudian. Saat yang sama, undang-undang baru terus diproduksi, namun celakanya undang-undang itu banyak yang dibuat atas pesanan dan tekanan pihak asing; seperti UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal, dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa negeri ini sebenarnya belum merdeka.

Karena itu, visi kepemimpinan Islam yang dibutuhkan oleh negeri ini adalah mewujudkan Indonesia yang merdeka dalam seluruh aspek kehidupan. Tanpa visi kemerdekaan ini, alih-alih menjadi negara maju, Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar di dunia justru akan terus-menerus dalam cengkeraman penjajah.
Cara Mewujudkan Visi Kemerdekaan

Dalam pandangan Islam, visi kemerdekaan ini hanya bisa diwujudkan dengan membebaskan umat Islam dan rakyat secara umum dari segala bentuk pengabdian/penghambaan kepada yang lain, selain kepada Allah SWT. Caranya tidak lain dengan menerapkan syariah-Nya untuk mengatur seluruh aspek kehidupan.

Karena itu, penerapan syariah Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan umat Islam dan rakyat di negeri ini sesungguhnya harus dilihat sebagai perwujudan dari visi kemerdekaan yang hakiki. Sebab, hanya dengan cara seperti itulah Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim dan menjadi negeri kaum Muslim terbesar di dunia akan benar-benar merdeka dari segala bentuk penjajahan. Penerapan syariah Islam secara kaffah sejatinya adalah pembebas bagi Indonesia dan yang akan mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Misi kepemimpinan umat hars sejalan dengan visi tersebut.

Allah SWT telah menjelaskan tujuan keberadaan kita di muka bumi ini:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (QS adz-Dzariyat [60]: 56).

Imam ath-Thabari menjelaskan bahwa penafsiran yang lebih tepat adalah sebagaimana pendapat Ibn Abbas, yaitu bahwa jin dan manusia diciptakan Allah tiada lain untuk beribadah kepada Allah dan tunduk pada perintah-Nya. Karena itu, misi manusia di muka bumi ini adalah mewujudkan penghambaan semata-mata hanya kepada Allah dengan tunduk dan patuh pada perintah dan larangan-Nya. Hal itu akan bisa diwujudkan dengan menerapkan syariah-Nya secara total dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Inilah misi umat Islam sekaligus misi kepemimpinan Islam, termasuk di negeri ini. Inilah yang akan mewujudkan kemerdekaan yang hakiki, kebangkitan umat Islam dan seluruh rakyat serta kemajuan Indonesia dan kemaslahatan bagi semua (rahmatan lil alamin).

Visi dan misi itu tidak akan bisa diwujudkan oleh sembarang kepemimpinan. Ia hanya bisa diwujudkan oleh kepemimpinan Islam yang memiliki karakter-karakter tertentu, yaitu yang memenuhi syarat-syarat pokok kepemimpinan Islam (Muslim, laki-laki, balig, berakal, merdeka, adil, dan mampu) dan semaksimal mungkin memenuhi syarat-syarat keutamaan (mujtahid, tegas dan pemberani, dsb). Kepemimpinan Islam itu juga harus memiliki karakter menjadikan syariah sebagai dasar pengambilan keputusan dan pengaturan masyarakat dan dirinya; menolak penjajahan dengan segala bentuknya; serta menolak segala entuk pemikiran sekulaerisme, pluralisme dan liberalisme.
Khilafah: Menyatukan Umat, Mewujudkan Indonesia Bermartabat

Umat Islam adalah kumpulan manusia yang diikat oleh satu akidah, yaitu akidah Islam, dan dibingkai dalam sistem yang sama, yaitu sistem Islam. Selama akidah yang dipeluk oleh seseorang adalah akidah Islam, sesungguhnya dia merupakan bagian dari umat Islam. Karena itu, faktor kesukuan, kebangsaan, keorganisasian, mazhab dan lain-lain bukanlah faktor utama yang menentukan statusnya sebagai bagian dari umat Islam.

Selain itu, Islam juga membenarkan terjadinya keragaman, baik karena fitrah maupun konsekuensi dari fitrah. Keragaman (pluralitas) yang disebabkan oleh fitrah adalah perbedaan yang terjadi karena ketetapan dan karakter penciptaan Allah kepada masing-masing, seperti perbedaan jenis kelamin, suku, bahasa, ras dan bangsa (Lihat: QS al-Hujurat [49]: 13).

Adapun keragaman karena konsekuensi dari fitrah terjadi karena dua faktor: (1) faktor perbedaan kemampuan intelektual manusia; (2) faktor nash al-Quran dan as-Sunnah yang memungkinkan untuk diinterpretasikan secara berbeda antara satu orang dengan orang lain. Inilah yang akhirnya meniscayakan terjadinya perbedaan. Perbedaan ini bisa terjadi pada level individu, kelompok, mazhab dan organisasi. Ini sebuah keniscayaan.

Meski demikian, tidak berarti perbedaan dan keragaman itu tidak bisa disatukan. Sebaliknya, menyatukan keragaman dan perbedaan itu tidak berarti melakukan penyeragaman, melainkan menyatukan semuanya dalam satu ikatan dan dasar yang sama, yaitu akidah Islam. Dengan begitu keragaman dan perbedaan tidak akan menjadi faktor pelemah kekuatan umat Islam, justru menjadi faktor penguat bangunan umat. Masing-masing saling melengkapi satu sama lain, dengan catatan, jika individu, kelompok, mazhab dan organisasi tersebut mempunyai visi dan misi yang sama sebagaimana disebutkan di atas. Rasul saw. bersabda:

<

« الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا »

Mukmin terhadap mukmin yang lain laksana satu bangunan yang saling memperkuat satu sama lain (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, an-Nasai, at-Tirmidzi).

Untuk itu, tentu dibutuhkan satu kelembagaan umat yang hakiki untuk menyatukan semua unsur kekuatan umat ini. Di sinilah pentingnya seluruh komponen/kelompok umat berupaya mewujudkan kepemimpinan Islam dalam bentuk kepemimpinan negara yang menerapkan syariah, yaitu Khilafah. Hanya dengan itulah umat bisa menyatu dan ukhwuah islamiyah bisa terwujud secara hakiki. Hanya dengan itu pula Indonesia bermartabat akan menemukan wujudnya yang sejati.
Perlu Penguatan atas Dasar Ideologi Islam dan Kemimpinan yang Kuat

Agar hal itu terwujud, penguatan internal di tubuh umat sefrta lembaga keumatan harus dilakukan melalui proses pembinaan dan penyadaran atas dasar ideologi dan kepemimpinan yang kuat. Melalui proses tersebut akan tumbuh pemahaman dan kesadaran yang benar di tengah-tengah umat.

Namun, karena umat Islam ini tersebar di berbagai lembaga, organisasi, jamaah dll maka peranan, kiprah dan konstribusi masing-masing lembaga tersebut bisa saling menguatkan satu sama lain; tentu dengan catatan, jika masing-masing membangun sikap tasamuh; tidak saling menyerang, menjatuhkan dan melemahkan. Agar tidak terjadi tindakan saling menyerang, menjatuhkan dan melemahkan maka kontak dan komunikasi gagasan (ittishalah fikriyyah) penting dilakukan. Dengan begitu, ketidakpahaman, kesalahpahaman dan kesalahan paham bisa diselesaikan. Selain itu, hal itu penting untuk membangun kesamaan visi dan misi di seputar kepemimpinan ini dan sinergi usaha dalam mewujudkan kepemimpinan Islam dalam negara.

Kesamaan visi dan misi serta kesepahaman ide itu harus dilanjutkan dengan proses pembinaan umat secara luas sehingga mereka memahami visi dan misi tersebut. Mereka juga harus dipahamkan tentang sistem Islam dan syariahnya berikut kewajiban untuk mewujudkan penghambaan hanya kepada Allah dengan jalan menerapkan syariah-Nya dalam semua aspek kehidupan, yang semua itu hanya mungkin terwujud dalam sistem Khilafah.

KUII V yang terelenggara tentu diharapkan bisa menjadi momentum awal terbentuknya kesamaan visi dan misi umat dan terbangunnya kesepahaman tentang kepemimpinan Islam dan karakternya. Selanjutnya, diharapkan seluruh komponen umat dan lembaga keumatan bisa merumuskan langkah-langkah strategis untuk mewujudkannya dalam sistem Khilafah Islamiyah. Allah SWT berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul jika Rasul menyeru kalian pada sesuatu yang memberikan kehidupan kepada kalian (QS al-Anfal [8]: 24).

WalLâh a’lam bbi ash-shawâb. []

KOMENTAR AL-ISLAM:

Kasus Pajak Sistematis (Republika, 4/5/2010).

Seluruh problem bangsa ini sistematis, yakni akibat diterapkannya sistem kapitalis.