“Ada urusan apa aku dengan dunia? Aku di
dunia ini tidak lain kecuali seperti seorang pengendara yang mencari
teteduhan di bawah pohon, lalu beristirahat, kemudian meninggalkannya.”
(Muhammad saw.)
Sudah lama saya ingin membuat tulisan
ini, semenjak awal saya melihat iklan dengan slogan “apa kata dunia”
yang menghiasi media, saya terus terang merasa terganggu dan sedikit
eneg setiap kali mendengar iklan ini. Sepertinya inilah wakilnya wajah
negara yang memakai baju kapitalisme-sekuler, maunya menang sendiri,
kalo menyangkut urusan pemerintahan maka semuanya harus cepat, bagus,
diurus, dan penuh toleransi, alasanya sih “Demi rakyat”, pergi keluar
negeri argumennya “demi rakyat”, beli mobil baru katanya “demi rakyat”.
Tapi kalo rakyat minta diurus agak cepetan dia bilang “sabar dulu, semua
ada masanya, ada prosedurnya”, atau kalo rakyat ngeluh maka dia bilang
“rakyat mandiri dong, jangan manja!”. Capek deh!
Dan wajah buruk itu akhirnya kebuka
sendiri, seorang pegawai biasa Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak diduga
memiliki rekening mencurigakan hingga Rp 25 miliar, tinggal di rumah
mentereng, punya apartemen di singapura, gonta-ganti mobil mewah, dan
bahkan ”kabur” ke luar negeri. Kalo bang Ben masi idup die bakal
ngomong: “Bujubune!, aye kerje sampe ko’it juga kagak dapet nyang
gituan! gile bener dah!”. Dan ini baru puncak gunung es, bawahnya jelas
mengakar gede, sehingga sangat sulit untuk membongkar sampai kebawah.
Cerminan jelas “CAPITALISM EFFECT” yang ngalah-ngalahin “A** EFFECT”
heheheh..
Dalam kapitalisme-sekuler ada cacat
bawaan yang akan selalu ada pada sistem dan badan apapun didalam
pemerintahan, termasuk pajak. Survei ICW (2001), Partnership (2001),
PERC (2005) dan TI (2005) menyatakan bahwa masyarakat dan kalangan
bisnis secara konsisten mempersepsikan Ditjen Pajak sebagai salah satu
lembaga terkorup. Pada tahun 2005, Kwik Kian Gie yang waktu itu kepala
Bappenas menyatakan bahwa sektor pajak bocor Rp. 180 trilliun pertahun
dan diperkuat dengan Faisal Basri yang mengatakan bocornya 40 trilliun.
Bahkan jauh sebelum itu, pada masa orba, Prof. Sumitro telah mengatakan
waste and loss di sektor pajak mencapai 30%.
Menarik pula bila kita membaca artikel
Jakarta Post Tanggal 10 Desember 2004 ”Graft spirals out of control at
tax office”. Yang menceritakan seorang pegawai biasa di Dirjen Pajak
yang mampu membeli BMW seri 5 dengan gaji bulanan hanya Rp. 3 juta. Dan
pegawai ini menjelaskan bahwa uang hasil suap dan pemerasan dibagi 25%
untuk kolektor, 15% untuk asistennya, kepala seksi 25% dan kepala kantor
pajak 30%, yang nantinya kepala kantor pajak akan mendistribusikannya
untuk pejabat-pejabat atasannya di dirjen pajak.
Sudahlah bermasalah dari segi
penerimaannya yang penuh dengan kecurangan, ternyata pengeluaran pajak
ini pun bukan untuk kepentingan rakyat seperti yang di-klaim, Ichsanudi
Noorsy mengatakan bahwa hanya 80-90 trilliun yang kembali ke masyarakat
(jika penerimaan pajak 2009 577 trilliun, maka cuma 13-14%), sedangkan
untuk bayar utang bisa sampe 115-170 trilliun. TI (2009) melaporkan
bahwa suap di Kantor Pajak Negara potensial 14% dengan rata-rata nilai
korupsi Rp. 8.502.000. Sedangkan di Kantor Pajak Daerah sebesar 17%
dengan rata-rata suap sebesar Rp. 4.709.000.
Kalau dikatakan kehancuran di bidang
pajak ini adalah masalah individual, sepertinya nggak juga deh, karena
kalo individu yang bermasalah maka jumlahnya sedikit, tapi faktanya
justru yang salah ini mendominasi, maka jelas sekali ini adalah
kerusakan sistemik dari sistem yang salah.
Maka wajarlah rasulullah mengancam dalam hadits-haditsnya:
لا يدخل الجنة صاحب مكس
tidak akan masuk surga para penarik pajak (HR. Hakim)
tidak akan masuk surga para penarik pajak (HR. Hakim)
Dalam kitab al-Kabair, adz-Dzahabi mengatakan:
والمكاس من أكبر أعوان الظلمة بل هو من
الظلمة أنفسهم فإنه يأخذ ما لا يستحق ، والمكاس فيه شبه من قاطع الطريق وهو
من اللصوص ، وجابي المكس وكاتبه وشاهده وآخذه من جندي وشيخ وصاحب راية
شركاء في الوزر آكلون للسحت والحرام
Pemungut pajak adalah termasuk pembantu bagi penguasa zalim yang paling penting. Bahkan pemungut pajak itu termasuk pelaku kezaliman karena mereka mengambil harta yang tidak berhak untuk diambil. Pemungut pajak itu memiliki kesamaan dengan pembegal bahkan dia termasuk pencuri. Pemungut pajak, jurus tulisnya, saksi dan semua pemungutnya baik seorang tentara, kepala suku atau kepala daerah adalah orang-orang yang bersekutu dalam dosa. Semua mereka adalah orang-orang yang memakan harta yang haram”
Pemungut pajak adalah termasuk pembantu bagi penguasa zalim yang paling penting. Bahkan pemungut pajak itu termasuk pelaku kezaliman karena mereka mengambil harta yang tidak berhak untuk diambil. Pemungut pajak itu memiliki kesamaan dengan pembegal bahkan dia termasuk pencuri. Pemungut pajak, jurus tulisnya, saksi dan semua pemungutnya baik seorang tentara, kepala suku atau kepala daerah adalah orang-orang yang bersekutu dalam dosa. Semua mereka adalah orang-orang yang memakan harta yang haram”
Juga sabda rasulullah saw.
يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ أُمَرَاءُ
ظَلَمَةٌ، وَوُزَرَاءُ فَسَقَةٌ، وَقُضَاةٌ خَوَنَةٌ، وَفُقَهَاءُ
كَذَبَةٌ، فَمَنْ أَدْرَكَ مِنْكُمْ ذَلِكَ الزَّمَنَ فَلا يَكُونَنَّ
لَهُمْ جَابِيًا وَلا عَرِيفًا وَلا شُرْطِيًّا
Akan ada pada akhir zaman para pemimpin yang zalim, para menteri yang fasik, para hakim yang khianat, dan para fukaha yang pendusta. Siapa saja di antara kalian yang mendapati zaman itu, janganlah sekali-kali dia menjadi pemungut harta mereka, menjadi pejabat mereka, atau menjadi polisi mereka (HR ath-Thabrani).
Akan ada pada akhir zaman para pemimpin yang zalim, para menteri yang fasik, para hakim yang khianat, dan para fukaha yang pendusta. Siapa saja di antara kalian yang mendapati zaman itu, janganlah sekali-kali dia menjadi pemungut harta mereka, menjadi pejabat mereka, atau menjadi polisi mereka (HR ath-Thabrani).
Teranglah dari hadits diatas bahwa
rasulullah telah mengingatkan bahwa dalam kondisi tidak diterapkannya
Islam, maka sistem pastilah akan menjadikan para penguasa dan
pejabat-pejabatnya serta para fuqaha menjadi korup, maka kita dipesankan
agar tidak menjabat apapun termasuk menjadi pemungut pajak, karena
pasti akan membuat kita melakukan dosa.
Berbeda dengan itu semua, Islam
mempunyai cara sendiri dalam mengatur keuangan negara. Yang jelas Islam
tidak akan menarik harta dari ummat kecuali dengan perintah Allah dan
keridhaan ummat padanya. Islam memiliki beberapa jenis pendapatan yang
memastikan bahwa negara tidak lagi perlu untuk secara permanen dan rutin
membebankan ummat. Pendapatan negara ini mencakup ghanimah, jizyah,
fai, jharaj, zakat mal, infaq, hibah, wakaf, penegelolaan SDA dan
dlaribah. Keampuhan pengelolaan dalam masa Khilafah yang menerapkan
Islam total Ini terbukti pada masa Umar bin Abdul Aziz yang mempunyai
kelebihan uang zakat yang tidak dibagikan bahkan setelah beliau melunasi
seluruh hutang, menikahkan jejaka dan memberi harta kepada ahlu
dzimmah.
Dan yang jelas pula, tidak akan ada rasa
sombong dan jumawa sebagaimana yang kita lihat pada petugas pajak dan
pemerintahan saat ini. Insya Allah seluruh aparat negara Khilafah akan
bermental sebagaimana Umar bin Khattab, sebijaksana Abu Bakar, sangat
penyayang seperti Utsman bin Affan dan secerdas Ali bin Abu Thalib.
Mudah-mudahan dengan kasus ini semakin jelas pada diri ummat bahwa tidak
ada jalan lain bagi mereka selain kembali kepada aturan Allah Azza wa
Jalla.
Jadi apa kira-kira kata dunia:
Makanya, kalo pilih sistem pemerintahan mbok ya o pake otak -maksudnya
pake syari’at Allah-, jangan pake dengkul -maksudnya sistem thaghut-
yang lagi kesel sama sistem kapitalis, tiap hari begini.....
By :
Ustadz Felix Siauw
Follow @felixsiauw
Islamic Inspirator
Tidak ada komentar:
Posting Komentar